Kemarin kebetulan Ibu di rumah sedang tidak memasak, jadi saya bisa makan diluar, kebetulan lagi saya lewat di sebuah warung yang dulu pernah suka makan disitu, ada yang unik dengan warung ini, jadi warung makan sederhana yang biasa disebut hik itu saya pikir sudah gulung tikar, la wong berminggu-minggu saya pas lewat disitu selalu tutup loh.. gerobak jualnya juga sudah semende mepet tembok..dan ternyata tebakan saya salah, siang itu warung tersebut buka kembali, seperti dulu.. berdiri dengan gagahnya..laksana siap menjemput kepingan rejeki yang datang, membuat sayapun kemudian tertarik untuk kembali bertandang.
Saya tidak terlalu kenal penjualnya memang.. nama aslinya pun saya tidak tahu, hanya sebuah nama "slenge'an" yang menjadi panggilannya dapat tersimpan di memory otak saya. Rumahnya tak jauh dari warungnya ini, disana, di suatu gang sempit yang bahkan cukup sulit untuk dilalui dengan sepeda motor. Iya saya tahu karena selintas saya pernah menyaksikan ia berjalan pulang bersama keluarga kecilnya selepas bekerja di hik yang menjadi sumber penghidupannya tersebut. Di malam Minggu, malam yang bagi kebanyakan masyarakat kelas atas, kerjaan dianggap tabu.
Hari itu di tengah masih panasnya matahari si Bapak pemilik warung mempersilakan saya duduk di bagian dalam karena bangku di luar panas, segera saya pesan es teh dan mengambil bungkusan nasi kucing berlauk tempe mendoan dan tahu susur dagangan wajib di setiap hik. Sambil menyantap makanan saya sempat bertanya kenapa kok kemarin tutup, sayang si Bapak hanya mengiyakan tanpa menjawab mengapa-nya.. wah bukan maksud saya kepo alias pengen tahuuu ajaaaa, tapi ciyus kondisi warungnya mengingatkan saya pada Ma'e yang beruntung saya bisa kenal lebih dekat, dan dari Ma'e saya tahu bahwa usaha hik kecil seperti ini pemiliknya seringkali berada dalam kondisi ekonomi yang tidak menyenangkan.. dimana cerita-cerita tersebut kemudian bisa menampar wajah saya agar tahu gimana kerasnya kehidupan, bersyukur dan sekaligus memberi pelajaran berharga yang bisa dipetik tentunya.
Nggak seperti Ma'e yang "supel", si Bapak malah menjauh, mungkin ingin memberi privasi saya yang sedang makan.. ha wong lahan dalam warung saya pakai buat makan jeh.. umpek-umpek'an kan nggak uenak tah.. ya sudah lain kali saya akan pancing dia untuk membuka diri..
Intinya dari situ saya jadi tahu betapa uang yang saya belanjakan di tempat-tempat kecil seperti itu jauh punyai arti daripada ketika saya belanjakan di tempat-tempat yang besar.. Ibaratnya yang satu jualan untuk hidup yang satu jualan untuk bisnis.. yang satu untuk mengganjal perut yang satu untuk melanggengkan kemakmurannya. Sama-sama jualan tapi beda kebutuhan, yang satu tanpa kita beli-pun masih bisa hidup nyantai dan usahanya tetap berjalan..yang satu kalo kita ndak beli.. bisa jadi sepi hari ini nggak makan dan besoknya gulung tikar. jadi lebih bijak kan kalau akhirnya kita sambangi yang kecil itu?
Ah.. sekali-kali atau bahkan berkala kita memang harus turun kesana.. untuk sekedar merasa, untuk mencoba mengerti,, untuk kemudian ikut memberi.. dan mendukung yang kurang terdukung.
Hari itu di tengah masih panasnya matahari si Bapak pemilik warung mempersilakan saya duduk di bagian dalam karena bangku di luar panas, segera saya pesan es teh dan mengambil bungkusan nasi kucing berlauk tempe mendoan dan tahu susur dagangan wajib di setiap hik. Sambil menyantap makanan saya sempat bertanya kenapa kok kemarin tutup, sayang si Bapak hanya mengiyakan tanpa menjawab mengapa-nya.. wah bukan maksud saya kepo alias pengen tahuuu ajaaaa, tapi ciyus kondisi warungnya mengingatkan saya pada Ma'e yang beruntung saya bisa kenal lebih dekat, dan dari Ma'e saya tahu bahwa usaha hik kecil seperti ini pemiliknya seringkali berada dalam kondisi ekonomi yang tidak menyenangkan.. dimana cerita-cerita tersebut kemudian bisa menampar wajah saya agar tahu gimana kerasnya kehidupan, bersyukur dan sekaligus memberi pelajaran berharga yang bisa dipetik tentunya.
Nggak seperti Ma'e yang "supel", si Bapak malah menjauh, mungkin ingin memberi privasi saya yang sedang makan.. ha wong lahan dalam warung saya pakai buat makan jeh.. umpek-umpek'an kan nggak uenak tah.. ya sudah lain kali saya akan pancing dia untuk membuka diri..
Intinya dari situ saya jadi tahu betapa uang yang saya belanjakan di tempat-tempat kecil seperti itu jauh punyai arti daripada ketika saya belanjakan di tempat-tempat yang besar.. Ibaratnya yang satu jualan untuk hidup yang satu jualan untuk bisnis.. yang satu untuk mengganjal perut yang satu untuk melanggengkan kemakmurannya. Sama-sama jualan tapi beda kebutuhan, yang satu tanpa kita beli-pun masih bisa hidup nyantai dan usahanya tetap berjalan..yang satu kalo kita ndak beli.. bisa jadi sepi hari ini nggak makan dan besoknya gulung tikar. jadi lebih bijak kan kalau akhirnya kita sambangi yang kecil itu?
Ah.. sekali-kali atau bahkan berkala kita memang harus turun kesana.. untuk sekedar merasa, untuk mencoba mengerti,, untuk kemudian ikut memberi.. dan mendukung yang kurang terdukung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salurkan Cemoohan Anda